PALOPO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 104/PUU/XXII/2025 menandai babak baru dalam penguatan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Melalui putusan tersebut, rekomendasi Bawaslu kini bersifat wajib dilaksanakan oleh KPU, bukan lagi sebatas pertimbangan yang bisa diabaikan.
Hal itu diungkapkan oleh Ano Suparno, Tenaga Ahli Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kementerian Dalam Negeri.
Ia hadir sebagai pembicara dalam kegiatan Evaluasi Penguatan Kelembagaan Bawaslu dengan tema “Perspektif Publik dan Media terhadap Kerja dan Kinerja Pengawasan Bawaslu sebagai Refleksi dan Peningkatan Kepercayaan Masyarakat”, yang digelar Bawaslu Palopo, di Nuiz Cafe, Kota Palopo, Ahad, (2/11/2025).
“Putusan MK 104 ini memperkuat posisi Bawaslu bukan hanya sebagai lembaga pengawas yang memberi rekomendasi, tetapi juga sebagai lembaga eksekutor,” ujar Ano Suparno.
“Artinya, Bawaslu kini dapat mengambil keputusan yang bersifat mengikat dalam penyelesaian sengketa Pemilu,” jelasnya.
Ia menegaskan, dengan adanya putusan tersebut, keputusan Bawaslu harus diteruskan dan dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ini menjadi bentuk pengakuan konstitusional terhadap kewenangan Bawaslu dalam memastikan penyelenggaraan Pemilu berjalan adil dan berintegritas.
Selain itu, Ano juga mengingatkan agar Bawaslu tetap menjaga independensi dan netralitas di tengah meningkatnya kewenangan tersebut.
“Dengan kewenangan yang semakin besar, Bawaslu harus benar-benar steril dari kepentingan politik. Pengawas Pemilu tidak boleh diisi oleh orang-orang yang menjadi perpanjangan tangan calon atau pihak tertentu,” ujarnya.
Ia menekankan, asas keadilan harus menjadi dasar utama dalam setiap keputusan dan tindakan Bawaslu agar tidak menimbulkan persepsi publik yang negatif.
“Kalau Bawaslu ingin keluar dari kecurigaan publik bahwa mereka hanya mengawasi calon tertentu, maka lembaga ini harus bersih, adil, dan profesional,” kata Ano.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, menambahkan bahwa tahun depan DPR RI bersama pemerintah berencana melakukan revisi Undang-Undang Pemilu, yang diperkirakan dimulai pada awal tahun.
Ia menilai, revisi tersebut menjadi momentum penting untuk memperkuat sistem pengawasan Pemilu dan memperjelas peran Bawaslu sesuai dengan putusan MK terbaru.
“Putusan MK yang mewajibkan rekomendasi Bawaslu dijalankan KPU adalah langkah maju bagi demokrasi elektoral kita. Namun tantangannya, Bawaslu harus menunjukkan kinerja yang transparan dan bebas dari intervensi,” ujar Jeirry.
Kegiatan evaluasi ini diharapkan menjadi bahan refleksi bagi Bawaslu dalam meningkatkan kepercayaan publik dan memperkuat legitimasi kelembagaannya di mata masyarakat menjelang penyelenggaraan Pemilu serentak berikutnya.
Beberapa poin utama yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusan terkait pengawasan pemilu dan kewenangan Bawaslu antara lain.
MK menegaskan bahwa dalam rezim Pemilu ( legislatif + presiden/wakil presiden ) ataupun Pilkada, mekanisme pengawasan dan penanganan pelanggaran administratif harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam konteks Pemilu, Bawaslu diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus pelanggaran administratif, kemudian keputusan Bawaslu itu harus ditindaklanjuti oleh KPU.
Dalam putusan yang dipublikasikan tanggal 30 Juli 2025, MK menyatakan bahwa frase “membuat rekomendasi” dalam Pasal 139 ayat (1) UU No.1/2015 (tentang Pilkada) yang sebelumnya hanya menghasilkan rekomendasi tidak memadai, karena tidak memberikan kepastian hukum yang cukup.
MK mengarahkan agar rekomendasi Bawaslu dimaknai sebagai “putusan” yang mengikat.
Dalam putusan yang diterbitkan di situs MK, disebutkan bahwa:
“Dalam hal ini, oleh karena penanganan sengketa administratif oleh Bawaslu memiliki kekuatan mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti, maka pelanggaran administrasi Pilkada yang ditangani Bawaslu pun harus memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama.”
MK juga membahas bahwa perbedaan pola antara penanganan pelanggaran administrasi antara Pemilu dan Pilkada di mana pada Pemilu Bawaslu memutus, sedangkan pada Pilkada hanya mengeluarkan rekomendasi menimbulkan ketidakselarasan dengan asas keadilan dan kepastian hukum.

















