banner 970x250
Nasional

Revisi KUHAP Resmi Jadi UU, Gelombang Kritik Publik Belum Mereda

×

Revisi KUHAP Resmi Jadi UU, Gelombang Kritik Publik Belum Mereda

Sebarkan artikel ini
Rapat Paripurna DPR terkait pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (2/10/2025). Kontroversi Dana Reses DPR: Naik Dua Kali Lipat dan Salah Transfer (DOK. Kementerian PANRB)
Example 468x60

NASIONAL – Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) akhirnya resmi disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Sidang paripurna dipimpin Ketua DPR, Puan Maharani, yang setelah mendengar laporan Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, meminta persetujuan seluruh fraksi terkait pengesahan RUU KUHAP.

banner 300x600

“Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanya Puan yang dijawab serentak “setuju” oleh para anggota dewan, seperti diberitakan Kompas.

Dengan ketukan palu sidang, revisi KUHAP yang digodok bertahun-tahun itu resmi menjadi payung hukum baru bagi proses peradilan pidana di Indonesia.

Dalam rapat yang sama, Puan juga menyinggung maraknya informasi menyesatkan yang beredar di ruang publik terkait proses pembahasan maupun isi revisi KUHAP.

Ia menyatakan bahwa penjelasan dari Komisi III sudah cukup menjawab berbagai keraguan tersebut.

“Penjelasan dari Ketua Komisi III saya rasa cukup bisa dipahami dan dimengerti sekali, jadi hoaks-hoaks yang beredar itu semuanya hoaks,” ujar Puan.

Menurutnya, kesalahpahaman dan ketidakmengertian sebagian masyarakat terhadap draf KUHAP baru masih dapat dipahami, namun diharapkan dapat mereda setelah ada klarifikasi resmi dari DPR.

Dari pihak pemerintah, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas hadir mewakili Presiden Prabowo Subianto dan menyampaikan pandangan pemerintah atas pengesahan revisi KUHAP.

Ia menjelaskan bahwa pembaharuan KUHAP tidak bisa lagi ditunda, mengingat telah terjadi perubahan besar dalam ketatanegaraan, perkembangan teknologi informasi, dan dinamika sosial selama lebih dari empat dekade sejak KUHAP lama diundangkan.

“Pembaharuan KUHAP diperlukan agar hukum acara pidana kita menjadi lebih adaptif, modern, dan berkeadilan,” tutur Supratman, seperti dikabarkan Antara.

Ia juga menyebut bahwa Presiden menyetujui pengesahan ini dan melihat revisi KUHAP sebagai bagian penting dari penyesuaian sistem peradilan dengan tantangan kejahatan lintas negara, kejahatan siber, serta makin kuatnya tuntutan perlindungan hak asasi manusia.

Baca juga:  Gelontoran Dana Rp200 Triliun, Menkeu: Win-Win Solution bagi Ekonomi

Supratman menambahkan, pembaharuan KUHAP juga dirancang agar selaras dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang dijadwalkan efektif pada awal Januari 2026.

Menurutnya, sinkronisasi antara hukum pidana materiil (KUHP) dan hukum acara pidana (KUHAP) penting agar penegakan hukum berjalan dalam satu kerangka sistem yang utuh.

Dalam paparan yang dikutip CNBC Indonesia, ia menekankan sejumlah pokok penyesuaian, antara lain penguatan perlindungan hak tersangka, terdakwa, korban, saksi, dan kelompok rentan, pengakuan bukti elektronik dan digitalisasi proses hukum, pengaturan lebih ketat atas upaya paksa dengan mekanisme izin hakim, serta pengenalan konsep-konsep baru seperti pertanggungjawaban pidana korporasi dan skema penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Sementara itu, di tingkat legislatif, Komisi III DPR menjelaskan bahwa Panitia Kerja RUU KUHAP telah menyepakati 14 substansi utama pembaharuan.

Poin-poin tersebut mencakup penyesuaian hukum acara pidana dengan standar hukum nasional dan internasional, penegasan pembagian fungsi antara penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat, penguatan mekanisme keadilan restoratif, serta pengaturan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban maupun pihak yang dirugikan.

Laporan Kompas (18/11/2025) merinci bahwa revisi ini juga diklaim memperkuat perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh proses peradilan, sekaligus mendorong peradilan yang lebih cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

Namun, di balik narasi pembaruan dan modernisasi, pengesahan revisi KUHAP memicu reaksi keras dari kelompok masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia.

Sejumlah organisasi menilai terdapat pasal-pasal yang berpotensi melonggarkan pengawasan terhadap aparat penegak hukum dan membuka ruang tindakan sewenang-wenang. Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, misalnya, menyebut bahwa arah pengaturan dalam RUU KUHAP justru bisa mengancam kebebasan warga negara.

“RUU KUHAP dapat merebut paksa kemerdekaan diri,” ujarnya, seperti dikutip BBC News Indonesia, seraya menilai banyak masukan substantif dari masyarakat sipil yang tidak terakomodasi secara memadai.

Baca juga:  Kartu Liputan Jurnalis CNN Dicabut Usai Tanya Soal MBG

Kritik juga datang dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, menyoroti perluasan kewenangan aparat dalam hal pemblokiran rekening, penyitaan, dan penggeledahan yang dapat dilakukan dalam kondisi yang disebut “keadaan mendesak”.

Menurutnya, standar “keadaan mendesak” yang disebut dalam draf KUHAP baru terlalu lentur dan mudah digunakan sebagai justifikasi tindakan paksa tanpa kontrol yudisial yang memadai.

Dalam wawancara yang dikutip BBC News Indonesia, ia menyebut ketentuan tersebut berpotensi digunakan secara berlebihan dan membuka peluang kriminalisasi, terutama bila tidak diimbangi pengawasan ketat dari pengadilan.

Selain isi pasal, proses legislasi revisi KUHAP juga tidak luput dari sorotan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menilai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang berjumlah 1.676 poin dalam waktu yang sangat singkat sebagai indikasi proses yang tergesa-gesa.

Mereka menyebut sejumlah pertemuan dengan DPR, termasuk undangan yang kemudian diklaim sebagai Rapat Dengar Pendapat Umum, tidak diikuti dengan keterbukaan draf maupun pengakomodasian substansi masukan.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, bahkan menggambarkan pola pembahasan tersebut sebagai “proses pembahasan yang ugal-ugalan” karena dinilai tidak menunjukkan kehati-hatian yang seharusnya ada dalam perumusan regulasi fundamental.

Di sisi lain, pemerintah dan DPR berkali-kali menegaskan bahwa tuduhan pengesahan kilat tanpa partisipasi publik yang memadai tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa RUU KUHAP telah melewati proses panjang dan banyak menerima masukan. Ia bahkan mengklaim sebagian besar substansi yang diatur justru berasal dari usulan masyarakat sipil.

“Kami tidak bisa memenuhi semua masukan, tapi ini 99 persen isinya berasal dari usulan masyarakat sipil,” kata Habiburokhman.

Baca juga:  Cucu Mahfud MD Jadi Korban Keracunan MBG di Yogyakarta

Dalam rapat paripurna, ia juga menyinggung poster viral di media sosial yang memuat empat poin kekhawatiran terhadap KUHAP baru dan melabeli narasi tersebut sebagai hoaks.

Perdebatan pun merembet pada isu-isu teknis, seperti kewenangan penyadapan, pemblokiran rekening, dan penyitaan perangkat elektronik.

Dalam penjelasannya di rapat paripurna, Habiburokhman menegaskan bahwa penyadapan tidak diatur secara detail di KUHAP baru, melainkan akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang khusus penyadapan, sebagaimana juga ditegaskan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, terkait pemblokiran rekening dan penyitaan barang bukti, draf KUHAP baru mensyaratkan izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam situasi yang dikategorikan mendesak, dengan kewajiban meminta persetujuan hakim dalam jangka waktu tertentu setelah tindakan dilakukan.

Meski demikian, berbagai laporan organisasi hak asasi manusia seperti KontraS dan Amnesty International Indonesia yang selama ini mencatat pola salah tangkap, kekerasan dalam penahanan, dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat, membuat sebagian kalangan memandang revisi KUHAP dengan kecurigaan.

Mereka khawatir, tanpa pengawasan yang benar-benar kuat dan mekanisme akuntabilitas yang efektif, perluasan kewenangan aparat dalam KUHAP baru justru bisa mempertebal praktik pelanggaran yang selama ini belum tertangani tuntas.

Di tengah klaim pemerintah dan DPR tentang modernisasi dan penguatan perlindungan hak asasi, kekhawatiran itu menjadi salah satu alasan mengapa demonstrasi dan kritik publik masih terus bermunculan.

KUHAP baru direncanakan berlaku mulai Jumat (02/01/2026), bersamaan dengan mulai efektifnya KUHP baru.

Hingga tenggat itu, perdebatan antara pemerintah, parlemen, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil tampaknya belum akan selesai.

Pemerintah berharap regulasi baru ini akan mewujudkan peradilan yang lebih modern dan adil, sementara kelompok kritis menuntut agar pelaksanaan undang-undang tersebut diawasi ketat agar tidak berubah menjadi alat yang melegitimasi tindakan sewenang-wenang atas nama penegakan hukum.

Example 300x600
Example 120x600
Example 300x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *