RAGAM – Polemik seputar kewajiban pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) kembali mengemuka setelah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menemukan tingginya penggunaan Cloudflare pada situs-situs judi online.
Dari analisis terhadap 10.000 sampel situs pada periode 1–2 November 2025, sekitar 76 persen di antaranya diketahui menggunakan infrastruktur milik perusahaan tersebut untuk menyamarkan alamat IP hingga mempercepat perpindahan domain saat dilakukan pemblokiran.
Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital menyebut temuan tersebut sudah disampaikan kepada Cloudflare sembari meminta tindak lanjut terkait kewajiban pendaftaran sebagai PSE Lingkup Privat.
“Pendaftaran PSE adalah instrumen kedaulatan digital, bukan sekadar administrasi. Tanpa status yang sah, penanganan konten berbahaya seperti judi online menjadi lebih sulit,” ujar Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, di Jakarta, Rabu (19/11/2025), dikutip langsung dari Website Kemkomdigi.
Meski demikian, pernyataan mengenai peran Cloudflare dalam kemunculan situs-situs ilegal kembali memicu perdebatan publik.
Banyak pihak menilai bahwa penggunaan layanan Cloudflare oleh situs terlarang bukanlah bukti adanya keterlibatan perusahaan tersebut, terlebih Cloudflare adalah teknologi infrastruktur yang juga digunakan jutaan situs legal di seluruh dunia.
Cloudflare sendiri dikenal sebagai penyedia layanan DNS, perlindungan anti-DDoS, serta jaringan pengiriman konten (CDN) yang menjaga kestabilan dan kecepatan akses internet.
Layanannya berada di lebih dari 330 kota global dan menangani puluhan juta permintaan HTTP tiap detik.
Karena itu, gangguan kecil pada sistem Cloudflare sudah cukup menyebabkan “mini-kiamat internet”, sebagaimana pernah terjadi pada Selasa (18/11/2025) ketika sejumlah platform besar seperti X, Discord, hingga ChatGPT sempat tidak dapat diakses.
Para pakar keamanan siber menilai bahwa memblokir Cloudflare secara total akan memberikan dampak jauh lebih besar dibanding masalah yang ingin diselesaikan.
Jutaan pengguna internet Indonesia, mulai dari UMKM, sekolah, portal berita, hingga institusi pemerintahan, bergantung pada layanan Cloudflare untuk stabilitas operasional.
Pemutusan akses dapat menyebabkan ribuan situs legal ikut lumpuh dan mengganggu layanan digital esensial.
Meski pemerintah menekankan bahwa Cloudflare wajib mengikuti aturan PSE sebagaimana diatur dalam PM Kominfo Nomor 5 Tahun 2020, pemahaman publik tetap mengarah pada urgensi penanganan yang proporsional.
Terlebih, teknologi seperti Cloudflare bekerja sebagai perantara teknis, bukan penyedia atau pengelola konten.
Karena itu, desakan agar Cloudflare “menyaring” pengguna dianggap tidak realistis oleh sebagian pengamat, mengingat fungsi teknologinya tidak dirancang sebagai moderator konten.
Selain Cloudflare, Komdigi juga mengirimkan notifikasi kepada 25 perusahaan digital global lain yang belum tercatat sebagai PSE namun aktif melayani pengguna Indonesia.
Daftar tersebut mencakup Dropbox, OpenAI (ChatGPT), Duolingo, Marriott, Accor, Wikimedia Foundation, Zoho, hingga Shutterstock.
Seluruhnya diberi tenggat waktu 14 hari kerja untuk menyelesaikan pendaftaran melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Alexander memastikan bahwa ruang diskusi tetap dibuka untuk seluruh penyedia platform, asalkan mereka menunjukkan komitmen terhadap kepatuhan hukum.
“Kami siap bekerja sama dan membantu proses teknis. Tapi kepatuhan hukum adalah garis merah. Ruang digital Indonesia harus aman dan berpihak pada masyarakat,” tegasnya.
Langkah pengawasan yang dilakukan Komdigi merujuk pada PM Kominfo 5/2020, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, PP Nomor 71 Tahun 2019, serta peraturan lain terkait penanganan konten bermuatan ilegal.
