banner 970x250
Nasional

Di Balik Pengesahan KUHAP, Ada Pasal Penjebakan, Penyadapan, dan Pemblokiran yang Dipersoalkan

×

Di Balik Pengesahan KUHAP, Ada Pasal Penjebakan, Penyadapan, dan Pemblokiran yang Dipersoalkan

Sebarkan artikel ini
Foto: Unsplash
Example 468x60

NASIONAL – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melaju cepat menuju pengesahan setelah pemerintah dan DPR menyepakatinya dalam pembicaraan tingkat I pada Kamis (13/11/2025).

Rancangan yang mengubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 itu kemudian dibawa ke tingkat II dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan untuk disahkan menjadi undang-undang.

banner 300x600

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengakui bahwa proses perumusan di Panitia Kerja (Panja) memang menerima banyak masukan dari koalisi masyarakat sipil, organisasi advokat, akademisi, mahasiswa, hingga mantan anggota Komisi III.

Namun, ia menegaskan tidak semua pandangan bisa ditampung. Ia menyebut dinamika parlemen menuntut kompromi antarpihak.

Dalam keterangannya, ia menyampaikan permintaan maaf karena “tidak semua masukan dapat diakomodasi” dalam naskah final.

Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP justru menilai bahwa problem RUU KUHAP bukan hanya soal teknis perbedaan pandangan, tetapi menyangkut arah besar reformasi hukum acara pidana.

Mereka menyoroti baik proses maupun substansi. Surat serta masukan tertulis yang diserahkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum disebut tidak mendapat tanggapan memadai, sementara sejumlah pasal krusial yang mereka anggap bermasalah justru lolos hingga tahap akhir.

Koalisi yang beranggotakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lokataru, ILRC, organisasi disabilitas, hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu kemudian merilis daftar pasal yang dinilai membuka ruang kesewenang-wenangan aparat.

Salah satu sorotan paling tajam diarahkan ke Pasal 16. Pasal ini memperluas metode penyelidikan, mulai dari pengamatan, pembuntutan, penyamaran, pembelian terselubung (undercover buy), hingga penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery).

Dua metode terakhir sebelumnya dikenal sebagai teknik khusus yang digunakan di tingkat penyidikan dan umumnya untuk perkara narkotika. Dalam desain baru, seluruh metode tersebut bisa diterapkan sejak tahap penyelidikan pada semua jenis tindak pidana, tanpa kerangka pengawasan hakim yang jelas.

Baca juga:  Revisi KUHAP Resmi Jadi UU, Gelombang Kritik Publik Belum Mereda

Koalisi mengingatkan, skema seperti ini membuka peluang penjebakan (entrapment), ketika aparat justru memicu atau “menciptakan” peristiwa pidana serta menentukan siapa yang akan tampil sebagai pelaku.

Pasal lain yang dianggap sangat rawan adalah Pasal 5 ayat (2), yang memberi kewenangan bagi penyelidik, atas perintah penyidik, untuk melakukan penangkapan, melarang seseorang meninggalkan tempat, menggeledah, menahan, memeriksa dan menyita surat, mengambil sidik jari, melakukan identifikasi, memotret, hingga menyeret seseorang untuk dihadapkan ke penyidik.

Dalam KUHAP lama, tahap penyelidikan lebih dibatasi pada pengumpulan informasi awal dan tidak mengenal penahanan.

Dengan rumusan baru ini, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, siapa pun dapat “diamankan” dan bahkan ditahan di fase ketika tindak pidana belum terverifikasi, menjadikan pasal tersebut berpotensi berubah menjadi pasal karet.

Masalah pengawasan hakim juga mengemuka pada pengaturan penangkapan dan penahanan di Pasal 90 dan Pasal 93. Secara normatif, Pasal 90 menetapkan penangkapan paling lama 1 x 24 jam, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Namun koalisi menilai, aturan ini tidak memperbaiki praktik di berbagai undang-undang sektoral yang sudah memungkinkan penangkapan lebih lama dari batas itu.

Pasal 93 kemudian mengatur bahwa penahanan dapat dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan dari penyidik atau melalui penetapan hakim terhadap tersangka atau terdakwa dengan ancaman pidana di atas lima tahun.

Skema alternatif antara “surat perintah penyidik” dan “penetapan hakim” inilah yang dinilai mendorong aparat cenderung menghindari kontrol yudisial, karena pintu penahanan melalui keputusan internal penyidik tetap terbuka lebar.

Kekhawatiran serupa terlihat pada pengaturan upaya paksa lain seperti penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, dan penyadapan.

Pasal 105, Pasal 112A, Pasal 132A, dan Pasal 124 menjadi titik kritik karena dinilai memungkinkan tindakan masuk ke ranah privat warga tanpa mekanisme izin hakim yang ketat di awal.

Baca juga:  Putusan MK Larang Polri Jabat Posisi Sipil Tuai Kritik

Penggeledahan dan penyitaan bisa saja dilakukan dengan dalih “keadaan mendesak” berdasarkan penilaian subjektif penyidik, baru kemudian disusulkan permohonan persetujuan ke pengadilan.

Dalam tataran praktik, pola seperti ini dikhawatirkan akan menjadikan persetujuan hakim sekadar formalitas administratif belaka, sementara akses aparat terhadap rumah, data pribadi, rekening bank, serta perangkat digital warga sudah telanjur terjadi.

Isu keadilan restoratif pun tidak luput dari kritik. Melalui Pasal 74 dan ketentuan terkait di Pasal 78 serta Pasal 79, KUHAP baru membuka ruang kesepakatan damai antara pelaku dan korban di seluruh tahapan, termasuk sejak penyelidikan.

Bagi Koalisi Masyarakat Sipil, pendekatan ini berbahaya jika tidak diiringi perlindungan yang memadai bagi korban.

Mereka mempertanyakan logika yang menempatkan mekanisme damai pada tahap ketika tindak pidana belum dipastikan, namun pelaku dan korban sudah didorong untuk mencapai kesepakatan.

Lebih jauh, hasil kesepakatan yang kemudian dikukuhkan pengadilan hanya berujung pada penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan tidak dilaporkan ke otoritas mana pun.

Kondisi ini disebut sebagai “ruang gelap penyelidikan”, di mana potensi pemerasan, paksaan berdamai, hingga rekayasa kasus bisa berlangsung tanpa jejak pengawasan.

Konfigurasi kewenangan antar-penegak hukum juga berubah signifikan lewat Pasal 7 dan Pasal 8. Kedua pasal tersebut menempatkan seluruh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik tertentu di bawah koordinasi dan pengawasan Polri.

Penyerahan berkas perkara oleh PPNS kepada penuntut umum pun harus melalui penyidik Polri.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai arsitektur ini menjadikan Polri sebagai institusi dengan konsentrasi kekuasaan sangat besar dalam hampir semua rumpun penegakan hukum, padahal beban perkara dan keluhan masyarakat terhadap kinerja kepolisian masih tinggi.

Mereka mengingatkan, lembaga yang selama ini juga dikritik dalam penanganan laporan publik justru diberi posisi sebagai “penyaring” utama hampir semua berkas perkara.

Baca juga:  Presiden Prabowo Imbau Pejabat Tak Kirim Bunga Ultah, Ajak Salurkan Bantuan ke Warga

Persoalan lain yang memancing reaksi keras datang dari pengaturan terkait penyandang disabilitas.

Melalui Pasal 137A dan ketentuan yang beririsan dengan Pasal 99, KUHAP baru memungkinkan pengadilan menjatuhkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan bagi pelaku tindak pidana yang dinilai tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena disabilitas mental dan/atau intelektual berat.

Koalisi Masyarakat Sipil memandang rumusan ini problematik, karena tidak memberi batas waktu yang jelas atas tindakan tersebut dan secara implisit menempatkan penyandang disabilitas mental dan intelektual pada posisi tanpa kapasitas hukum yang setara.

Mereka menilai, pengaturan ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan sewenang-wenang (arbitrary detention), mengingat standar pengawasan, jangka waktu, dan mekanisme penghentian tindakan tidak dijabarkan secara tegas.

Di tengah tumpukan catatan itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak Presiden untuk menarik draf RUU KUHAP per (13/11/2025) dan tidak melanjutkannya ke pembahasan tingkat II di paripurna.

Mereka meminta pemerintah dan DPR kembali ke meja perundingan, memperbaiki arah reformasi hukum acara pidana berdasarkan draf tandingan yang sudah lama mereka susun.

Koalisi juga mengingatkan agar dalih pemberlakuan KUHP baru tidak dijadikan alasan untuk mempercepat pengesahan KUHAP dengan mengorbankan prinsip, perlindungan hak warga, dan mekanisme kontrol terhadap aparat penegak hukum.

Example 300x600
Example 120x600
Example 300x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *